Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sumatera: Antara Kemewahan Sumber Daya dan Kutukan Ekologis yang Terencana

Selasa, 23 Desember 2025 | Desember 23, 2025 WIB Last Updated 2025-12-23T10:21:31Z


Sumatera hari ini bukan lagi sekadar pulau dengan gugusan Bukit Barisan yang megah; ia telah berubah menjadi panggung drama kolosal bertajuk "Bencana Tahunan". Dari Aceh hingga Lampung, berita tentang banjir bandang, tanah longsor, dan kabut asap seolah telah menjadi agenda rutin yang jadwalnya lebih pasti daripada pencairan bantuan sosial. Namun, jika kita mau jujur di tengah lumpur yang menggenang, apa yang terjadi di Sumatera bukanlah sekadar amuk alam atau "ujian Tuhan", melainkan sebuah konsekuensi logis dari pembangunan yang mengabaikan napas ekologis.


### **Narasi Kesalahan Alam: Sebuah Pembenaran yang Nyaman**


Setiap kali air meluap ke pemukiman di Jambi, Riau, atau Sumatera Barat, narasi yang dilemparkan ke publik sering kali berputar pada "curah hujan ekstrem" atau "fenomena El Nino/La Nina". Mengkambinghitamkan langit adalah cara paling pengecut bagi pemegang kebijakan untuk lari dari tanggung jawab di darat.


Alam memiliki kapasitas daya tampung. Namun, ketika hutan lindung berganti menjadi hamparan monokultur kelapa sawit, dan punggung perbukitan dikuliti demi mengeruk batu bara, kita sebenarnya sedang mencabut "rem" alami bumi. Sumatera sedang kehilangan spons raksasanya. Tanpa akar pohon yang mengikat tanah dan menyerap air, hujan sesedikit apa pun akan langsung meluncur menjadi petaka. Bencana di Sumatera adalah "bencana terencana" yang lahir dari meja-meja perizinan yang korup dan tata ruang yang bisa dibeli.


### **Paradoks Investasi dan Kemiskinan Ekologis**


Sumatera adalah tulang punggung ekonomi Indonesia melalui komoditas perkebunan dan tambang. Namun, ada paradoks yang menyakitkan di sini. Kekayaan yang dihasilkan dari tanah Sumatera mengalir deras ke pusat atau ke kantong-kantong korporasi besar, sementara yang tersisa bagi penduduk lokal hanyalah "limbah" berupa bencana.


Investasi sering kali dipuja sebagai dewa penyelamat ekonomi, namun jarang sekali dihitung berapa biaya pemulihan pascabencana yang harus ditanggung negara dan rakyat. Kerugian harta benda, hilangnya nyawa, dan hancurnya infrastruktur pendidikan serta kesehatan akibat banjir sering kali melampaui angka pajak yang dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan perusak lingkungan tersebut. Kita terjebak dalam pertumbuhan ekonomi yang semu—tumbuh di atas angka, namun keropos secara fondasi kehidupan.


### **Politik Bencana: Baliho vs Aksi Nyata**


Satu fenomena satire yang selalu muncul di tengah bencana Sumatera adalah kemunculan baliho tokoh politik. Di tengah pengungsi yang kedinginan dan kelaparan, wajah-wajah tersenyum dengan slogan "Turut Berduka" atau "Peduli Bencana" berdiri tegak di pinggir jalan yang tergenang. Ini adalah penghinaan terhadap logika.


Bencana sering kali dijadikan panggung pencitraan (charity show) daripada momentum evaluasi kebijakan. Memberi bantuan mi instan dan sembako memang perlu, tetapi itu hanyalah obat pereda nyeri untuk penyakit kanker yang sudah stadium lanjut. Yang dibutuhkan rakyat Sumatera bukanlah kunjungan pejabat dengan sepatu bot mengkilap untuk sekadar berfoto, melainkan keberanian politik untuk mencabut izin perusahaan yang terbukti merusak daerah aliran sungai (DAS) dan menata ulang tata ruang tanpa kompromi.


### **Normalisasi Bencana: Bahaya Tersembunyi**


Hal yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah "normalisasi". Masyarakat mulai menganggap banjir tahunan sebagai bagian dari gaya hidup. Pemerintah daerah mulai menganggap anggaran darurat bencana sebagai pengeluaran rutin. Ketika bencana dinormalisasi, maka tidak akan ada rasa urgensi untuk berubah.


Kita memuji "ketabahan" rakyat Sumatera yang tetap tersenyum di atas sampan di tengah banjir, padahal pujian itu sering kali digunakan untuk menutupi kegagalan negara dalam melindungi warganya. Rakyat tidak seharusnya dipaksa menjadi tabah karena kelalaian struktural. Ketabahan bukan berarti menerima ketidakadilan ekologis secara pasrah.


### **Menuju Rekonsiliasi dengan Alam**


Memulihkan Sumatera tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa. Pertama, harus ada **audit lingkungan menyeluruh** terhadap seluruh izin konsesi lahan di sepanjang Bukit Barisan. Jika sebuah perusahaan merusak fungsi hidrologis wilayah, tidak ada pilihan lain selain pencabutan izin.


Kedua, **penegakan hukum tanpa pandang bulu**. Selama pembakar hutan atau penambang ilegal hanya dijatuhi hukuman ringan, mereka akan terus mengulangi perbuatannya karena biaya denda jauh lebih murah daripada biaya pengelolaan lingkungan yang benar.


Ketiga, **pendekatan berbasis mitigasi, bukan sekadar evakuasi**. Pemerintah harus berhenti bersikap reaktif (bergerak saat sudah banjir) dan mulai bersikap preventif. Restorasi gambut, reboisasi hutan rakyat, dan pembangunan infrastruktur hijau harus menjadi prioritas di atas pembangunan mercusuar yang tidak menyentuh akar masalah.



Sumatera sedang berteriak melalui banjir dan longsornya. Ia sedang mengirimkan pesan bahwa daya dukung lingkungannya sudah di titik nadir. Jika kita terus memandang bencana ini sebagai rutinitas atau sekadar takdir, maka suatu saat Sumatera bukan lagi menjadi pulau harapan, melainkan monumen kegagalan manusia dalam mengelola amanah alam.


Bencana adalah cermin retak dari moralitas pembangunan kita. Sebelum semuanya terlambat, mari berhenti memperlakukan Sumatera sebagai sapi perahan dan mulailah memperlakukannya sebagai rumah yang harus dijaga kelestariannya. Karena pada akhirnya, air tidak pernah salah; ia hanya sedang mencari jalannya kembali yang telah kita rampas.

×
Berita Terbaru Update